(dagelanwayang.com)

Oleh Abu Ibrahim

Untuk lebih memahami demokrasi dari segi manfaat dan mudlarat-nya bagi bangsa dan negara, kita perlu mengetahui sejarah tumbuhnya demokrasi dan sekaligus latar belakang dimunculkannya paham tersebut. Sejarah demokrasi bermula dari filsafat Yunani, yang tidak mengenal dan tidak mengakui adanya Tuhan sebagai satu-satunya penguasa, pemilik dan pengatur alam semesta. Tentunya juga tidak mengakui adanya para Rasul, yang diutus Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa kitab suci berisi syari’at Allah.

Menurut keterangan DR. Lorens Bagus dalam kamus filsafat hal. 154, demokrasi berasal dari bahasa Yunani. Yaitu, potongan kata demos (rakyat) dan kratein (memerintah). Adapun pengertian demokrasi, duraikan sebagai berikut:

Beberapa Pengertian Demokrasi

  1. Demokrasi (pemerintah oleh rakyat) semula dalam pemikiran Yunani berarti bentuk politik, dimana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik. Hal ini mereka usulkan untuk menentang pemerintahan oleh satu orang (monarki) atau oleh kelompok yang memiliki hak-hak istimewa (aristokrasi) dan bentuk-bentuk yang jelek dari kedua jenis pemerintahan (tirani dan oligarki) ini.
  2. Pemerintahan oleh rakyat dapat dilakukan secara langsung atau melalui wakil-wakil rakyat.secara langsung yang terdapat dalam demokrasi murni, Melalui wakil-wakil rakyat dalam demokrasi perwakilan –bersama-sama dengan monarki dan oligarki– demokrasi tercatat sebagai salah satu bentuk pokok pemerintahan. Dalam perjalanan sejarah, arti demokrasi mengalami perubahan yang mendalam.
  3. (kaskus.us)

    Dasar pemikiran modern tentang demokrasi adalah ide politis filosofia tentang kedaulatan rakyat. Hal ini berarti semua kekuasaan politik dikembalikan pada rakyat itu sendiri sebagai subyek asli otoritas ini. Bagaimanapun rakyat secara keseluruhan dapat menjalankan kekuasaan tertinggi negara secara bersama hanya pada satu tingkat yang sangat terbatas (demokrasi langsung atau demokrasi murni), karena itu proses-proses hukum harus dituangkan dalam undang-undang dasar. Proses semacam itu memungkinkan rakyat mengambil bagian secara tidak langsung dalam pembentukan kebijakan politik, dengan pemilihan secara bebas dan rahasia untuk wakil-wakil rakyat yang menduduki jabatan dalam jangka waktu tertentu. Wakil-wakil ini dipilih menurut prinsip yang ditentukan oleh suatu mayoritas tertentu dan mereka diberikan hak dan kewajiban yg digariskan secara jelas (demokrasi perwakilan atau representatif).

  4. Pluralitas (keberagaman) partai-partai politik seyogyanya memberikan rakyat –yang menjunjung tinggi alternatif-alternatif politik– kesempatan untuk berbicara secara terbuka dan tampilnya orang-orang yang cukup bermutu. Demokrasi dalam arti ini tidak terikat pada bentuk republik (dengan Kepala Negara dipilih oleh rakyat atau wakil-wakilnya).
  5. Suatu demokrasi yang hidup mengandaikan kematangan politik, penilaian yang baik dan kesiapan pada pihak warga negara untuk mennomorduakan kepentingan-kepentingan pribadinya atas tuntutan-tuntutan kesejahteraan umum.

Evaluasi Para Filsuf

  1. Plato memandang demokrasi dekat dengan tirani, dan cenderung menuju tirani. Ia juga berpendapat bahwa demokrasi merupakan yang terburuk dari semua pemerintahan berdasarkan hukum dan yang terbaik dari semua pemerintahan yang tidak mengenal hukum.
  2. Aristoteles melihat demokrasi sebagai bentuk kemunduran politik dan yang paling dapat ditolerir dari ketiga bentuk pemerintahan yang merosot, Dua yang lain adalah tirani dan oligarki.
  3. Montesquieu, perintis ajaran tentang pemisahan kekuasaan, lebih suka monarki konstitusional. Ia berkeyakinan bahwa demokrasi ideal adalah demokrasi klasik yang dibangun di atas kebajikan kewarganegaraan. Ia berkeyakinan pula bahwa yang ideal itu tak akan tercapai.

Demikian keterangan Lorens Bagus yang cukup mewakili berbagai keterangan tentang definisi demokrasi dan latar belakangnya. Tokoh-tokoh filsafat Yunani dan pengikut mereka dari Barat, menjadi rujukan utama dalam mendefinisikan demokrasi ini. Kita melihat bahwa para tokoh tersebut adalah berpemahaman atheisme, sosialisme, sekularisme dan salibisme.

(dprapkspamulangbarat.wordpress.com)

Tentu mereka tidak mengenal keimanan kepada Allah dan kepada RasulNya dan tidak pula mengenal keimanan kepada kitab-kitab suci yang dibawa para Rasul tersebut, sehingga Allah dan para RasulNya dan kitab-kitabNya tidak ada sama sekali dalam kekuasaan politik yang mereka definisikan.

Masyarakat Eropa termakan sepenuhnya oleh paham demokrasi, sejak meletusnya Renaissance di Perancis dan berbagai revolusi di daratan Eropa, sehingga demokrasi diyakini sebagai pusaka yang sakral dan menjadi doktrin politik yang mutlak harus diterima.

Prinsip Barat yang demikian dibawa serta dalam gerakan imperialisme mereka ke segenap penjuru dunia, sehingga dari pintu inilah masuknya paham demokrasi di dunia Islam. Karena mayoritas negeri Muslimin di bawah kekuasaan imperialis Barat.

Pandangan Islam Terhadap Demokrasi

Dasar pamahaman politik (kekuasaan) dalam Islam adalah segala kekuasaan itu milik Allah semata dan semua makhluk mau tidak mau harus tunduk kepada kekuasaanNya yang mutlak. Allah berfirman:

“Katakanlah, wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imran 26)

Maka dengan keimanan yang demikian, seorang mukmin mencintai hukum Allah dan tunduk kepadaNya serta meninggalkan segala hukum yang selainnya. “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?(QS. Al-Maidah: 50).

(prangaceh.blogspot.com)

Diyakini pula oleh setiap mukmin bahwa hukum yang berlaku haruslah apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada nabiNya, karena semua hukum manusia itu tidak lain hanyalah membela kepentingan hawa nafsunya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik(QS. Al-Maidah: 49).

Bahkan Allah memperingatkan RasulNya agar jangan tunduk kepada suara mayoritas umat manusia, karena mayoritas mereka itu dalam kesesatan. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS. Al-An-am: 116).

Setiap mukmin harus yakin bahwa keadilan itu hanyalah bisa terealisir melalui hukum Allah SWT dan segala hukum lainnya yang menjanjikan keadilan hanyalah utopia (angan-angan) belaka dan tidak pernah akan ada kenyataannya. “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimatNya dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’am: 114-115) (bersambung)

Judul Asli: “Demokrasi VS Politik Islam”

(Dikutip dari: http://jalansunnah.wordpress.com/2010/12/06/demokrasi-vs-politik-islam/)