(abdi-husairi.blogspot.com)

Oleh Riyan Nuryadin

Pembumian wacana multikulturalisme pada ranah pendidikan formal (sekolah) dewasa ini semakin menggeliat. Maraknya gagasan multikulturalisme disertai dengan penyebaran isu pendahuluan: banyaknya peristiwa bentrokan dan konflik horizontal di tengah masyarakat. Berbagai pihak kemudian menyuarakan gagasan ini lebih keras dan diimplementasikan lebih dini dalam kurikulum pendidikan.

Kekeliruan Memahami Budaya dan Kesederajatan

Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk (plural society). Karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. (Choirul Mahfud, 2009: 95).

(syarifsame.blogspot.com)

Pemahaman seperti ini mengharuskan, masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan, karena semua kebudayaan pada dasarnya mempunyai kearifan tradisional yang berbeda-beda. Kearifan-kearifan (baca: ajaran, nilai-nilai, kandungan, dan lain-lain) tersebut tidak dapat dinilai sebagai positif-negatif dan tidak dapat dijelaskan melalui kacamata kebudayaan yang lain. Hal ini disebabkan oleh sudut pandang dan akar baik-buruk dari setiap kebudayaan, mempunyai volume yang berbeda pula.

Budaya versi kalangan ini tidak terbatas dalam bidang seni, tetapi mencakup segala hal yang menjadi proses dan produk sebuah komunitas, meliputi agama, ideologi, sistem hukum, sistem pembangunan, dan sebagainya. (Choirul Mahfud, 2009: 205). Kalangan multikulturalis memaknai budaya secara luas, bahkan termasuk agama di dalamnya. Maka, agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, Jawa, Sunda, Batak, Kapitalisme, Sosialisme, dan berbagai produk komunitas lainnya adalah budaya dan posisinya sejajar dan sederajat.

Islam tidak dapat menyalahkan agama lain, tidak dapat menilai baik atau buruk agama lain karena posisinya sama. Begitu pula, Islam tidak boleh mengklaim sebagai satu-satunya agama yang benar disisi Tuhan, karena hal demikian akan mencenderai semangat toleransi dalam bingkai multikulturalisme.

(ethnicministry.blogspot.com)

Paham ini tidak membedakan antara budaya baik dan budaya buruk. karena semuanya dalam bingkai kesederajatan. Sementara agama Islam tidaklah demikian, Islam memandang tinggi budaya baik dan memandang rendah budaya buruk. Jadi dalam Islam, persoalan budaya pun tetap dibingkai oleh nilai-nilai Ilahi yang sifatnya mutlak dan harus jadi pedoman untuk menakar kualitas budaya individu maupun kelompok.

Bahaya lebih jauh adalah persepsi bahwa budaya bukanlah suatu kemutlakan yang harus dipertahankan, termasuk agama di dalamnya. Budaya dipahami sebagai sebuah gerak (move) kreatifitas masyarakat yang dibangun oleh gerakan prinsip-prinsip berbeda, yang kemudian membentuk sebuah kesepakatan bersama tentang nilai, pandangan, dan sikap masyarakat (reinventing). Dalam arti, budaya tumbuh dan berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat itu sendiri, yang tentunya dipengaruhi oleh faktor ekstern yang mengelilingi kehidupannya (Wahid, 2001: 77).

Jika pemahaman ini diaplikasikan, yang terjadi adalah agama dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bukanlah sesuatu yang mutlak dan final. Nilai-nilai atau kandungannya akan dan harus selalu berevolusi, seiring sejalan dengan evolusi masyarakat yang berbeda dari waktu ke waktu. Jika demikian yang terjadi, sendi-sendi ajaran agama –khususnya Islam– lambat laun akan hilang dan punah. Terganti oleh nilai-nilai kreatif buatan manusia, yang justeru akan membahayakan eksistensi kemanusiaannya itu sendiri dan eksistensi kehidupan secara keseluruhan.

Agenda Buruk Globalisasi.

(sylverblaque.wordpress.com)

Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama, patut diduga merupakan agen taktis untuk memuluskan penjajahan nilai-nilai sekular-liberal di era globalisasi. Nilai-nilai sekular-liberal dapat mengikis dan menghancurkan pemikiran dan keimanan umat Islam. Globalisasi bukan hanya melahirkan penjajahan ekonomi, tetapi juga penjajahan pemikiran, budaya, nilai dan tradisi.

********

Sinergi dengan Kerukunan

Lebih jauh lagi, gagasan multikulturalisme ini dengan tegas menyatakan bahwa negara sekuler-liberal merupakan jawaban atas keberagaman agama seperti yang terdapat di Indonesia. Yang demikian karena menurut mereka negara sekular-liberal posisinya netral dan mampu memberikan equal opportunity kepada keanekaragaman agama.

Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama dapat mengikis keyakinan beragama umat Islam yang benar, bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Keyakinan tersebut diubah dengan pemahaman keagamaan yang semata-mata rasional, memenuhi dimensi sosiologis dan antropologis manusia semata. Maka ketika proses ini berhasil dijalankan, akan memudahkan kalangan sekular-liberal untuk melanjutkan cengkraman penjajahan peradabannya kepada negeri-negeri Muslim.

(uri.edu)

Jika konsep pendidikan multikulturalisme –seperti hasil temuan penulis yang diutarakan di atas– pendidikan ini akan sangat berbahaya pagi siswa didik muslim. Dengan paham semacam ini, peserta didik dijauhkan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan agama Islam sejatinya adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman. (Ramayulis, 2010: 21).

Pendidikan agama dalam Islam adalah pendidikan agama yang berbasis tauhidullah, dilandasi semangat beribadah dan semangat dakwah dalam setiap dimensi kehidupan manusia. Dalam Islam, seluruh perbuatan manusia termasuk pendidikan, dibingkai oleh motivasi penyerahan total dirinya sebagai hamba Allah dan khalifatullah. Inilah hakikat pendidikan dalam pandangan alam Islami, yang perlu diejawantahkan dalam dunia pendidikan dewasa ini.

Secara konseptual dan fakta sejarah, Tauhid Islam senantiasa sinergi dengan kerukunan. Karena itu –-berbeda dengan kondisi di dunia Barat-– wacana multikulturalisme tidak menduduki tempat penting. Maka, seyogyanya, para cendekiawan Muslim tidak mudah hanyut dalam gegap gempita paham-paham baru, yang dapat berdampak negatif pada pemahaman Islam yang benar. Wallahu’alam bil-shawab.

(Dikutip dari: http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=325:pendidikan-multikulturalisme-perspektif-islam/)